Best Island
Beautiful Island
Beautiful Beach

Friday, January 30, 2009

A Review of our Development Efforts in 2008

Kia Orana koutou katoatoa to all of you from the beautiful Cook Islands.

In 2008, we celebrated over 100 teams visiting the Cook Islands! With 102 teams supporting the Cook Islands over the last ten years, we can truly say we had something to celebrate. Over 100 people joined together at Takitumu School to celebrate this wonderful milestone.
The night was a brilliant success with community partners such as Takitumu School pupils and PTA, Te Kainga, Cook Islands National Council of Women, the Pacific Islands AIDS Foundation, Immanuela Aketemia School, Tereora College Learning Support Unit, Red Cross, the Ministry of Health, the Disability Action Team, the Virtues Project, the Cook Islands Library and Museum Society, the Takitumu Conservation Area, the Whale Research Centre, St Josephs School, and Te Uki Ou School all sharing interesting stories of how Global Volunteers has supported their organizations in differing ways over such a long time.

The Global Volunteers goals of waging peace and promoting justice in the world were certainly met with the fun way Cook Islanders, Americans and Canadians all enjoyed each others company and celebrated the friendships made during the time that Global Volunteers has had the honor of supporting so many different partners in the Cook Islands.

Of course, while all this celebrating was going on our work projects did not stop. We have had some different special projects while also continuing our great work teaching reading at a variety of schools. Our reading program has helped 370 children with their reading, and provided 6670 hours of support to the United Nations Millennium Development goal of having all boys and girls finish a full course of primary schooling during the last six months.

One interesting project was helping to restore a historical sea traveling vaka (canoe). The canoe was traveling to Samoa for the 10th Pacifika Arts Festival and time was running out. Global Volunteers was asked to lend a helping hand to the workers doing the restoration work. Several members in our July team managed to spend some time learning about rope work, carving, sanding etc, with Rick Russell even traveling on board when the vaka was towed from Avana to Avarua!

As you can see the Cook Islands offers a range of adventure in service projects depending on your skills. Why don’t you come and join us and experience our amazing little country. We look forward to your company in 2009!
-Kia manuia, Debi - Global Volunteers Country Manager

A Review of our Development Efforts in 2008

Kia Orana koutou katoatoa to all of you from the beautiful Cook Islands.

In 2008, we celebrated over 100 teams visiting the Cook Islands! With 102 teams supporting the Cook Islands over the last ten years, we can truly say we had something to celebrate. Over 100 people joined together at Takitumu School to celebrate this wonderful milestone.
The night was a brilliant success with community partners such as Takitumu School pupils and PTA, Te Kainga, Cook Islands National Council of Women, the Pacific Islands AIDS Foundation, Immanuela Aketemia School, Tereora College Learning Support Unit, Red Cross, the Ministry of Health, the Disability Action Team, the Virtues Project, the Cook Islands Library and Museum Society, the Takitumu Conservation Area, the Whale Research Centre, St Josephs School, and Te Uki Ou School all sharing interesting stories of how Global Volunteers has supported their organizations in differing ways over such a long time.

The Global Volunteers goals of waging peace and promoting justice in the world were certainly met with the fun way Cook Islanders, Americans and Canadians all enjoyed each others company and celebrated the friendships made during the time that Global Volunteers has had the honor of supporting so many different partners in the Cook Islands.

Of course, while all this celebrating was going on our work projects did not stop. We have had some different special projects while also continuing our great work teaching reading at a variety of schools. Our reading program has helped 370 children with their reading, and provided 6670 hours of support to the United Nations Millennium Development goal of having all boys and girls finish a full course of primary schooling during the last six months.

One interesting project was helping to restore a historical sea traveling vaka (canoe). The canoe was traveling to Samoa for the 10th Pacifika Arts Festival and time was running out. Global Volunteers was asked to lend a helping hand to the workers doing the restoration work. Several members in our July team managed to spend some time learning about rope work, carving, sanding etc, with Rick Russell even traveling on board when the vaka was towed from Avana to Avarua!

As you can see the Cook Islands offers a range of adventure in service projects depending on your skills. Why don’t you come and join us and experience our amazing little country. We look forward to your company in 2009!
-Kia manuia, Debi - Global Volunteers Country Manager

Thursday, January 29, 2009

Indonesia Menuju Kemandirian Teknologi Hankam

Teknologi pertahanan dan keamanan (Hankam) pelan-pelan mulai dikuasai di dalam negeri. Sebuah langkah bijak, mengingat pentingnya kemandirian Hankam. Sayang masih ada sejumlah kendala.Idealnya, teknologi Hankam terutama Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dikuasai sepenuhnya oleh suatu negara. Bisa kita bayangkan jika terjadi perang namun pihak musuh mengetahui rahasia persenjataan kita akibat mayoritas teknologi berasal dari negara lain. Saat ini, kebutuhan Alutsista Indonesia sebagian besar masih diimpor. Tapi tahun ini pemerintah meningkatkan anggaran untuk membeli produksi dalam negeri.“Senjata berteknologi tinggi masih kita datangkan dari luar. Sedangkan yang menengah sudah menggunakan produk dalam negeri. Misalnya senjata perorangan sudah sepenuhnya produksi PT. Pindad.
Alat angkut memakai produksi PT. Dirgantara Indonesia (DI),” ungkap Syafrie Syamsuddin, Sekretaris Jendral (Sekjen) Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) kepada pers di Jakarta belum lama ini.Meningkat Tahun ini, alokasi dana untuk belanja Alutsista produksi dalam negeri dianggarkan 36,9 persen dari keseluruhan anggaran Hankam yang sebesar Rp.32,6 triliun. Menurut Syafri, ini sebuah peningkatan kepercayaan terhadap teknologi Hankam dalam negeri dibandingkan dengan tahun yang sudah-sudah.Kebutuhan teknologi Hankam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam negeri merupakan buatan PT. Pindad, PT. DI, PT. Lembaga Elektronik Nasional (LEN), PT. PAL dan PT. Inti.
Sebagian besar produksinya dilakukan atas kerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berfungsi sebagai lembaga riset dan rancang bangunnya. “Produksi dalam negeri untuk teknologi Hankam saat ini meliputi komponen peranti lunak dan keras yang menggantikan buatan impor. Kita berusaha mengembangkan sendiri agar tidak perlu lagi mengimpor komponen tersebut jika terjadi kerusakan,” jelas Surjatin Wiriadidjaja, Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT kepada SH dalam kesempatan serupa.BPPT sendiri sudah mengembangkan panser beroda, pesawat tanpa awak dan pesawat terbang rendah hemat biaya yang mempu memenuhi kebutuhan Alutsista TNI. Sementara PT. LEN yang terfokus pada produk elektronik sudah membangun infrastruktur sonar untuk kapal patroli TNI. PT. Pindad telah berhasil memproduksi peluru dan senjata. Sesungguhnya teknologi Hankam kita tidak terlalu mengecewakan.
Kerjasama antar lembaga penelitian sudah mampu mengembangkan sejumlah teknologi mnjadi produk Alutsista. Memang awalnya berupa akuisisi teknologi dari luar, untuk kemudian dipelajari dan berusaha dibuat sendiri oleh tangan-tangan anak negeri.KompetitifSebut saja produk kendaraan berawak, yang meliputi Kendaraan Tempur Angkut Pasukan, Light Tank, Kapal Patroli Cepat, Kapal WISE dan Kapal Korvet. Lalu juga Kendaraan Nir Awak, yang meliputi Kendaraan Benam RoboTeknologi Pertahanan, Pesawat Udara Nir Awak. Tidak ketinggalan Sistem Pelatihan seperti simulator yang dipakai untuk berlatih perang-perangan dengan menggunakan simulasi. Ada juga Roket berbahan pendorong padat, seperti Roket Permukaan ke Permukaan, Roket Permukaan ke Udara.
Tak ketinggalan pula di bidang Sistem Pertahanan, misalnya Survei dan Pemetaan, Sensor Optik Teknologi Pertahanan.Demi menciptakan iklim yanglebih kompetitif bagi produksi teknologi Alutsista dalam negeri, Syafri menekankan ada tiga aspek utama. ”Pertama aspek regulasi dan kebijakan, lalu aspek produksi yang berdaya saing dengan kualitas, harga dan waktu yang memenuhi kebutuhan, lalu juga anggaran. Anggaran belanja Hankam Indonesia sekarang masih yang terrendah di kawasan Asia Tenggara, hanya 1 persen dari PDB,”.

Wednesday, January 28, 2009

Bali Beach

Mensinergikan Budaya dan Teknologi

KEBUDAYAAN Bali mesti dipahami tak sekadar pentas kesenian. Kebudayaan itu mencakup hal yang luas dan kompleks. ”Selama ini kebudayaan Bali diterjemahkan sebatas seni pertunjukan. Padahal kebudayaan Bali itu mencakup hal yang totalitas, dari apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat orang Bali,” ujar pengamat budaya Drs. Nyoman Wijaya, M.Hum. Contohnya, para penulis pun sesungguhnya termasuk bagian dari unsur kebudayaan, tetapi mereka tak pernah mendapat penghargaan.

Oleh karena itu, ke depan, Pesta Kesenian Bali (PKB) tak hanya pesta seni, tetapi pesta kebudayaan. Sehingga dalam event itu tak hanya diselenggarakan pentas seni tari dan tabuh, pun PKB itu cukup dilangsungkan lima tahun sekali. Di sela-sela itu — setahun sekali — digelar pesta teknologi masyarakat Bali, seperti bagaimana cara membuat tombak, keris, dan cara membuat aungan — saluran irigasi.

Dalam kebudayaan pun, Bali mengenal budaya politik. Tetapi kita tak pernah menjamah budaya politik, sehingga visi dan misi politik saja masih banyak yang rancu. Kurang dewasanya masyarakat dalam berpolitik, tak terlepas dari kurangnya menjamah budaya politik.

Wijaya mengatakan selama ini kebudayaan (baca: kesenian Bali) dijadikan penunjang pariwisata. Dengan demikian kebudayaan Bali tak lebih dari sekadar objek. Ke depan, budaya bisa dijadikan subjek. Karena itu, budaya dan teknologi mesti disinergikan. Jika tidak, budaya yang dihasilkan masyarakat Bali adalah budaya yang bersifat semu. Dengan sinergi yang bagus antara budaya yang adiluhung dengan teknologi, akan menghasilkan produk budaya yang mampu bersaing dengan negara lain.

”Selama ini budaya Bali hanya menjadi objek dari kebudayaan global. Jika hanya menjadi banjolan-banjolan budaya, budaya Bali hanya akan enak ditonton untuk sekadar menghilangkan stres. Tak seperti negara lain yang menjadikan kebudayaan sebagai subjek,” kata Wijaya.

Misalnya Jepang, India, dan Amerika yang sudah mampu mensinergikan kebudayaan dan teknologi. Mereka sudah lama mengekspor budaya ke negara lain. Padahal, dari segi substansi, Bali (Indonesia) memiliki nilai-nilai budaya yang amat kaya. ”Tetapi karena tak dikawinkan dengan teknologi, maka kita hanya mampu menempatkan kebudayaan sebagai objek,” katanya.

Suartaya dan Murdana juga sepakat bahwa sinergi kebudayaan dengan teknologi penting. Negara Jepang sudah melakukan hal itu. Masyarakat Jepang, Korea, dan Cina sudah mampu memberdayakan kebudayaannya. ”Dalam melakoni aktivitas budaya masyarakat tak alergi terhadap teknologi. Tetapi ingat, teknologi itu alat untuk mempercepat proses berkesenian,” kata Murdana.

Wijaya mengatakan, ke depan yang diperlukan bukan hanya menjadi tukang-tukang teknologi, tetapi masyarakat mesti mampu menjadi inventor (penemu). Dengan demikian masyarakat Bali mampu mensinergikan produk budaya dengan teknologi.

Bali, kata Wijaya, memiliki banyak cerita rakyat yang jika mendapat sentuhan teknologi, kiranya mampu bersaing. Cerita rakyat itu bisa dikemas dalam bentuk film kartun dan film.

Wijaya mengatakan strategi kebudayaan ke depan sebenarnya bisa berpijak pada evaluasi sekarang. Kehidupan orang Bali berpangkal atau bermuara pada agama Hindu. Dari situlah mestinya bertolak. Artinya, bagaimana memperlakukan agama pada masa kini.

Memang upaya yang dilakukan elite agama sudah mengarah ke perbaikan-perbaikan. Untuk memperbaiki cara beragama di masa lampau, elite agama melakukan dharma wacana. Tetapi langkah yang dilakukan itu baru sebatas pada bagaimana melaksanakan upacara yang baik dan benar.

Ke depan, mesti ada peningkatan. Tak hanya mengantarkan orang untuk beragama yang baik dan benar, tetapi mendidik masyarakat untuk berpikir, berkata dan bertindak yang benar. Sehingga masyarakat mampu melangkah dari agama yang tekstual formal menjadi agama yang kontekstual — agama yang hidup. Artinya, agama dalam konteks ini mampu menjawab tantangan di masa mendatang.

Dalam pendidikan, kata Wijaya, antara muatan lokal dan pendidikan formal (teknologi) juga mesti disenergikan. Dengan demikian, ke dalam, masyarakat dididik mampu mencari nilai-nilai luhur dari kebudayaan, sedangkan keluar SDM yang dihasilkan mampu menjangkau informasi global. Misalnya bahasa Inggris dan bahasa Bali sudah mesti dipahami sebagai bahasa yang sama-sama memiliki arti penting. Kedua bahasa itu mesti dipelajari bersamaan, sehingga hasilnya lebih maksimal. Pengusaan bahasa lokal untuk memudahkan anak-anak mempelajari teks-teks lokal, sedangkan bahasa asing untuk menangkap informasi global. Dengan demikian kita berharap anak-anak mampu menguasai teks lokal dengan konteksnya yang lebih luas.


Budaya Bali Hormati Berbagai Keragaman

Perkembangan kebudayaan Bali hendaknya mampu menghormati identitas budaya dengan berbagai keragaman, menghargai kearifan lokal serta mengapresiasi kreativitas menuju kemajuan budaya, adab, estetika, solidaritas dan makna kehidupan.

Hal itu merupakan salah satu dari empat point deklarasi kebudayaan yang dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Bali ke-1 di Denpasar, Senin.

Dra S. Suarsi, MSi, membacakan rumusan kongres kebudayaan Bali yang menampilkan 38 pembicara tingkat nasional, internasional dan lokal Bali dengan melibatkan sedikitnya 400 peserta dari berbagai kalangan, seniman, budayawan dan cendikiawan.

Kebudayaan daerah, nasional dan global adalah satu eksistensi yang dijiwai oleh Bhineka Tunggal Ika, satu identitas dan satu fondasi kemanusiaan yang sarat nilai-nilai historis, logika, etika, estetika dan makna kehidupan.

Demikian pula marginalisasi, hegemoni dan kepunahan kebudayaan harus dicegah dan sebaliknya potensi kekhususan, keunggulan dan keadaban harus dilestarikan dan diberdayakan untuk memuliakan kemertabatan.

Semua itu diupayakan melalui kerjasama yang sinergis serta tanggung jawab bersama secara lintas daerah, lintas kelompok etnis dan lintas bangsa.

Pendalaman kebudayaan agar mampu menggetarkan roh serta tekad baru untuk bangkit secara lokal, nasional, global dalam spirit kearifan, toleransi dan kedamaian.

"Semua itu dari Bali untuk Bali, dari Bali untuk Indonesia dan dari Bali untuk dunia," ujar Suarsi.

Drs Wayan Geriya salah seorang panitia kongres kebudayaan Bali menambahkan, deklarasi kebudayaan tersebut diharapkan menjadi payung dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya ke depan.

Deklarasi kebudayaan Bali dalam bingkai NKRI menjadi program aksi, visi dan misi Bali ke depan.

Deklarasi kebudayaan Bali tersebut mempunyai makna yang sangat pendalam demi tetap kokoh dan eksisnya seni budaya Bali di tengah persaingan yang ketat di era globalisasi.

"Siapa pun yang dipercaya masyarakat menjadi Gubernur Bali dalam lima tahun mendatang dan seterusnya wajib mengamankan dan melaksanakan deklarasi kebudayaan yang dihasilkan itu," harap Wayan Geriya. 


Tuesday, January 27, 2009

Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik Identitas dalam Releksi hubungan Antaretnis antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali

Pendahuluan

Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).

Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.

Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.

Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.

Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Bali. Menurut Geertz (1959) orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali.

Namun demikian, perlu kiranya dipahami bahwa ketahanan kebudayaan Bali mempunyai kelemahan dari tiga aspek pokok yaitu ketahanan struktural, fungsional dan prosesual (Geriya 2000:183). Ketahanan struktural secara fisik terkait dengan penguasaan tanah sebagai penyangga budaya, yang bukan saja berubah fungsi tetapi juga berubah penggunaannya. Kelemahan fungsional terkait dengan melemahnya fungsi bahasa, aksara dan sastra Bali sebagai unsur dan media kebudayaan. Kelemahan prosesual realitas konflik yang berkembang dengan fenomena transformasi dengan ikatannya berupa fragmentasi dan disintegrasi.

Perubahan Kebudayaan Bali

Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak luput dari perubahan di era gloBalisasi ini. Seperti dikatakan oleh Adrian Vickers (2002) bahwa orang Bali kini tengah mengalami suatu paradok yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih pada lokalitas, khususnya kepada desa adat. Dengan kata lain bahwa orang Bali dalam mengadopsi budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan ikatan tradisi dan sistem nilai yang dimilikinya. Fenomena paradok ini juga dikemukakan oleh Naisbitt dan Aburdene (1990:107) yang disebutnya sebagai sikap penolakan (countertrend) terhadap pengaruh kebudayaan global (budaya asing) sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan bahasa sendiri.

Triguna (2004) mengatakan bahwa watak orang Bali telah berubah secara signifikan dalam dekade terakhir ini. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan oleh Baterson. Demikian pula orang Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. Perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan fisik yakni alih fungsi lahan yang setiap tahunnya berkisar sekitar 1000 ha. Budaya agraris yang semula menjadi landaskan kehidupan budaya dan masyarakat Bali kini berubah menjadi budaya yang berorientasi kepada jasa dalam kaitannya dengan industri pariwisata. Faktor eksternal bersumber dari kegiatan industri pariwisata telah menyebabkan terdinya materialisme, individualisme, komersialisme, komodifikasi, dan gejala profanisasi dalam kebudayaan Bali.

Multikulturalisme dalam Kebudayaan Bali

Dalam kebudayaan Bali terdapat nilai-nilai yang mengakui adanya perbedaan atau pluralitas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam konsep rwa bhineda (dua hal yang berbeda atau oposisi biner). Perbedaan dalam kebudayaan Bali diakui karena adanya faktor desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan/kondisi). Konsep desa, kala, dan patra ini sering dijadikan pembenar oleh masyarakat Bali mengenai adanya perbedaan adat-istiadat atau kebudayaan antara daerah yang satu dengan daerah lain di Bali.

Lebih lanjut, dalam kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep Tat twam asi (dia adalah kamu). Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat Bali toleran kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan dirinya. Fenomena ini mencerminkan tingginya toleransi dalam masyarakat Bali. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar.

Dalam aspek keseimbangan dan harmonisasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik orang Bali mengenal konsep Tri Hita Karana . Tri Hita Karana secara arfiah artinya adalah tiga faktor yang emnyebabkan kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan lingkungan alam sekitar ( palemahan ). Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Bali dikenal pula dengan konsep nyama braya . Nyama adalah kerabat dekat, dan braya adalah kerabat jauh. Sebagaimana diketahui bahwa Bali terdapat kantong-kantong hunian masyarakat Islam seperti di desa Pegayaman (Buleleng), Pamogan, Kepaon dan Serangan (Denpasar). Kelompok masyarakat Muslim tersebut memiliki sejarah yang erat dengan raja-raja atau para penguasa Bali di masa lalu, sehingga mereka sering disebut dengan istilah “ nyama selam ” atau saudara Islam/muslim .

Selain masyarakat Islam, di Bali juga banyak bermukim orang-orang Cina bahkan mereka telah menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan Bali. Hubungan kebudayaan Bali dengan Cina dapat dikatakan telah berlangsung lama. Berbagai komponen budaya Cina telah menyatu atau diadopsi dalam kebudayaan Bali antara lain: pemanfaatan uang kepeng (uang Cina) sebagai alat transaksi dan kebutuhan upacara di Bali, dan beberapa jenis kesenian (seni ukir dan tari/baris Cina)(Ardana 1983: 4; Wirata 2000; Pringle 2004;).

Pengaruh Kebudayaan Cina di Bali

Masyarakat Cina telah lama tinggal dan hidup di Bali. Masyarakat Cina di Bali sebagaimana lazimnya komunitas Cina di Indonesia mereka tinggal di daerah perkotaan dan d Pedesaan. Menurut Visanty (1975: 346) orang Cina di Indonesia umunya berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Lebih lanjut dikatakan bahawa ada empat bahasa Cina di Indonesia yaitu Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Masyarakat Cina yang tinggal diperkotaan perilakunya berbeda dengan mereka yang tinggal dipedesaan. Orang Cina yang tinggal diperkotaan umumnya kurang bergaul dengan masyarakat lokal, namun mereka yan tinggal dipedesaan telah menyatu dengan masyarakat Bali.

Sampai saat ini belum ada data yang pasti kapan sesungguhnya awal hubungan Bali dengan Cina. Dalam berita Cina disebutkan nama Po-li yang mengirim utusan ke Cina pada awal abad ke 6 masehi. Apakah Po-li identik dengan Bali atau tempat lain di indonesia masih belum jelas (Coedes 1968: 53). Kajian tentang mata uang terutama keberadaan uang kepeng Cina di Bali menunjukkan bahwa uang kepeng dari zaman Tang (abad 7-9 Masehi) telah ditemukan di Bali (Pringle 2004: 10). Uang kepeng sebagai barang yang mudah dibawa dan bertahan cukup lama sulit dijadikan pedoman untuk mengetahui awal kontak atau hubungan Bali dengan Cina. Namun demikian, fungsi uang kepeng Cina sebagai alat transaksi yang syah di Bali berlanjut pada masa kolonial, bahkan samapai kinipun uang kepeng masih dipakai sebagai pelengkap atau sarana pada upacara agama Hindu di Bali (Ardana 1983: 4; Pringle 2004). Perlu dicatat bahwa beberapa waktu yang Badan Pelestarian Budaya Bali telah memproduksi uang kepeng yang cukup banyak untuk kelengkapan sarana upacara di Bali.

Selain mata uang kepeng, unsur budaya Cina juga berpengaruh dalam seni di Bali. Keberadaan baris Cina di desa Sanur, Denpasar dapat dikatakan sebagai satu-satunya seni tari dengan kostum yang unik, dan diduga kuat mendpat pengaruh budaya Cina di Bali (Ardana 1983: 4). Demikian pula halnya dengan seni barong diduga mendapat pengaruh kesenian Cina. Pengaruh budaya Cina juga dapat dilihat dalam arsitektur dan seni ukir Bali. Bangunan dengan atap bertingkat yang lazim di Bali dikenal dengan nama Meru diperkirakan mendapat pengaruh arsitektur Cina. Seni ukir dengan pola sulur atau tumbuhan dengan batang yang merambat disebut patra Cina juga dianggap sebagai pengaruh budaya Cina.

Dalam konteks keagamaan, perlu juga disebutkan bahwa pada beberapa pura besar ( Sad kahyangan ) di Bali seperti pura Besakih dan pura Batur terdapat sebuah tempat pemujaan yang disebut Palinggih Ratu Subandar . Palinggih Ratu Subandar biasanya didominasi oleh warna merah dan kuning seperti lazimnya bangunan wihara/kelenteng, dan pemujaan pada bangunan suci tersebut difokuskan untuk memuja manifestasi Tuhan dalam aspek perdagangan atau kemakmuran.

Integrasi Masyarakat Cina di Bali

Selain diperkotaan, komunitas Cina juga tersebar di daerah pedesaan di Bali antara lain di Kintamani, Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Sukawati, Blahbatuh, dan Menanga. Mereka umumnya bermukim di dekat pasar tradisional atau pusat perdagangan, dan profesi sebagai pedagang atau petani. Studi kasus terhadap komunitas Cina di desa Carangsari, Badung oleh Ketut wirata (2000) menunjukkan bahwa mereka memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat Bali. Integritas ini disebabkan oleh adanya kesamaan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam agama Hindu dan Budha. Toleransi yang terdapat dalam ajaran agama Hindu ( Tat Twan Asi, Tri Hita Karana, menyama braya ) dan nilai-nilai yang sama dalam agama Budha tampaknya telah mendorong orang Bali dan komunitas Cina untuk dapat berintegrasidengan baik. Kesamaan kultural ini menjadi modal penting sebagai landasan integrasi masyarakat Cina di pedesaan Bali. Agama Hindu dan Budha sejak dahullu dianggap satu seperti yang disebut oleh Mpu Tantular dalam karyanya yang berjudul Sutasoma dengan ungkapan yang sangat terkenla yaitu “ Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa ”. (Agama Siwa (Hindu) dan Budha pada hakikatnya sama). Hal ini juga terlihat dlam tradisi agama Hindu di Bali bahwa setiap penyelenggaraan upacara besar senantiasa dipimpin ( dipuput ) setidaknya dua pendeta yaitu pendeta Siwa (Hindu) dan Budha.

Selain kesamaan kultural dan agama, masyarakat Cina di pedesaan di Bali juga melakukan integritas struktural. Kenyataan masyarakat Cina di desa Carangsari, Badung menunjukkan bahwa mereka ikut menjadi makrama desa adat . Komunitas Cina di desa tersebut menjadi anggota desa adat dengan segala hak dan kewajibannya seperti rekan-rekannya dari komunitas Bali. Masyarakat Cina memasuki pranata-pranata sosial yang ada di desa Carangsari. Sebagai anggota karma desa masyarakat Cina di desa Carangsari ikut gotong royong ( ngayah ) di pura kahyangan tiga (tiga pura utama di setiap desa adat di Bali yaitu Pura Puseh, Desa dan Dalem ) di desa tersebut, sehingga mereka juga mendapat hak yaitu tanah ulayat desa untuk tempat pemukiman mereka. Bahkan mereka semuanya memeluk agama Hindu.

Komunitas Cina di desa Carangsari menunjukkan ke-Bali-annya dengan menggunakan nama Bali seperti sebutan Putu, Made, Nyoman, dan Ketut. Fenomena ini juga terjadi pada komunitas Cina di tempat lain di Bali. Penggunaan bahasa Bali di kalangan komunitas Cina di Bali dapat dikatakan menambah ke-Bali-an mereka. Di samping itiu, masyarakat Bali juga mengadopsi bahasa Cina dalam komunikasi sehari-harinya.

Selain menjadi karma desa atau memasuki pranata-pranata sosial di Bali, perkawinan antar etnis Cina dan Bali dapat memperkuat integritas kedua kelompok masyarakat tersebut. Keturunan dari hasil perkawinan ini akan dapat memperkuat integritas antara komunitas Cina dan masyarakat Bali.

Strategi Mempertahankan Kearifan Lokal

Perubahan kebudayaan merupakan fenomena yang nnormal dan wajar. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa suatu kebudayaan telah mampu mengadopsi dan mengadaptasi kebudayaan asing/luar menjadi bagiannya tanpa kehilangan jati diri. Dalam interaksi tersebut kebudayaan etnik mengalami proses perubahan dan keberlanjutan ( change and continuity ). Unsur-unsur kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman tampaknya ditinggalkan, dan digantikan dengan unsur-unsur yang baru.

Kesamaan nilai-nilai dalam agama dan spiritualitas mengenai multikulturalisme yang terdapat dalam berbagai etnik/komunitas di indonesia tampaknya dapat digunakan sebagai alat untuk menjalin integritas sosial di antar kelompok etnik tersebut seperti halnya integritas antara oarng Cina dan masyarakat Bali di pedesaan. Jati diri otentik adalah bersifat spiritual dan murni, sedangkan jati diri artifisial saat ini adalah materialisme akibat dari pengaruh budaya global dan hedonisme (Agustian 2004:2). Keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa akan memperkuat jati diri dan kepercayaan diri (Agustian 2004: 3). Dalam dunia modern, menurut Peter L. Berger (Nashir 1999:41) agama adalah canopy suci untuk menghadapi kekacauan (chaos) (the sacred canopy of chaos). Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan. Masyarakat harus kemBali kepada basic value atau basic principle yang merupakan nilai-nilai dasar dalam kehidupan. Nilai-nilai dasar itu bersumber pada agama dan falsafah negara kita yakni pancasila. Kearifan lokal yang terkait dengan nilai-nilai pluralitas budaya atau multikulturalisme dalam masyarakat perlu kiranya direvitalisasi untuk membentengi diri dari gejala disintegrasi bangsa. Berbagai konsep dalam kebudayaan Bali seperti Rwa Bhineka, Tat Twam Asi, tri hita karana, dan nyama braya dalam kebudayaan Bali perlu dipahami sehingga dapat dipakai landasan untuk hidup saling berdampigan dengan etnik lain, khususnya etnik Cina. Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas yang mengedepankan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam perlu disosialisasikan dan diejawantakan dalam kehidupan riil.

Di masyarakat kita kini muncul berbagai penyakit keterasingan ( alienasi ) antara lain. Alienasi ekologis , manusia secara mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan penuh kerakusan dan tanpa menghiraukan kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Muncul pula alienasi etologis , bahwa manusia kini mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi dan mobilitas kehidupan. Alienasi masyarakat , menunjukkan keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, sehingga lahir disintegrasi sosial. Selain itu, muncul pula alienasi kesadaran , yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusian karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menapikan rasa dan akal budi (Nashir 199: 6).

Berbagai keterasingan tersebut di atas sesungguhnya bertentangan dengan ajran-ajaran atau kearifan lokal yang kita kenal selama ini baik di tingkat nasional maupun lokal. Di tingkat nasional kita mengenal istilah gotong royong, tenggang rasa ( tepa salira ), dan musyawarah mufakat. Pada tataran lokal kita mengenal bermacam-macam konsep yang maknanya sama. Noronga' uchu gawoni, noro' uchu geo, alisi tafa daya-daya, hulu ta farwolo-wolo (berat sam dipikul, ringan sama dijinjing) kata orang Nias. Sigilik seguluk selunglung sebayantaka (susah senang kita harus sama-sama) kata orang Bali (Imawan 2004: 1).

Secara sadar dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya, termasuk revitalisasi kearifan lokal tersebut. Selain itu, penggalian atau penemuan kemBali kearifan-kearifan lokal dalam menumbuhkan budaya multikultural di antara berbagai etnik perlu terus dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh budaya global. Upaya merevitalisasi kearifan lokal tampaknya tidak mudah dilakukan tanpa adanya kemauan politik (good will) dari pemerintah (Astra 2004: 13).

Pemberdayaan lembaga pendidikan, dan pendidikan formal maupun non formal perlu ditingkatkan untuk menggali dan mengembangkan potensi dan nilai-nilai kearifan lokal dalam kebudayaan. Melalui pendidikan diharapkan pemahaman generasi muda dan masyarakat secara keseluruhan terhadap kearifan budaya lokal akan semakin meningkat yang pada gilirannya menimbulakn pemahaman terhadap jati diri. Penerapan kurikulum muatan lokal kiranya dapat memberikan peluang untuk menjadikan kearifan lokal sebagai mata ajar. Dengan upaya ini diyakini kearifan lokal mampu bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Penutup

Pemahaman tentang kesamaan niali-nilai budaya di antara kelompok-kelompok etnik menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan multikulturalisme di indonesia. Sikap toleransi dan saling menghormati antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain merupakan dasar yang sangat penting untuk mewujudkan gagasan tersebut. Nilai-nilai dasar yang bersumber kepada agama serta kearifan lokal merupakan benteng untuk memperkuat jati diri dalam menghadapi arus budaya global yang cenderung bersifat sekuler dan materialistis.

Dukungan politik dan kemauan pemerintah sangat diperlukan dalam upaya menggali, menemukan kemBali, dan revitalisasi kearifan lokal agar selaras dengan pembangunan jati diri bangsa.

Era gloBalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideology seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) (Appadurai 1993:296) tidak dapat dihindari terhadap kebudayaan Bali dan etnik lain di indonesia. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul dimana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial mulai diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial, serta uang dijadikan sebagai tolak ukur dalam kehidupan.

GloBalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Proses gloBalisasi juga telah merambah wilayah kehidupan agama yang seraba sakaral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bgi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat. Namun di sisi lain terjadi paradoks bahwa ekspansi budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap budaya lokal dan regional.

Saturday, January 3, 2009

Come Join Us - We Need Your Help in 2009!


Kia Orana to all Global Volunteers:

We know the world is experiencing budget shortages. We hope you will continue to send volunteers to the Cook Islands in 2009. It would be very sad for the beneficiaries of the work that the Global Volunteers do in Rarotonga if they do not maintain the very worthwhile service.

The students who receive assistance from the volunteers with their reading will miss out on a very important aspect of their learning as well as self confidence that is nurtured through the support given by the Global Volunteers. These volunteers have also helped a great deal with the conservation of native birds which is one of our success stories. The locals who take this on as a passion and sheer determination to preserve these precious birds through rat eradication which often is quite a difficult taks. Red Cross has a staff shortage and the volunteers have rescued us from many of our much needed jobs to be done and sometimes at short notice... and this we have appreciated.

Just recently, we were able to get the help of a Global Volunteer to complete a job that would have waited for how long, I hate to think!! Other volunteers have become part of the community as they do fill a gap of our needs and the visits with the elderly, disabled, schools, library, women;s office, hospital and so on are most important. Recently, the wheelchairs that were fixed are mind-boggling as we have had to tell clients that we do not have wheelshairs to give to assist with their mobility. I invite Global Volunteers to keep coming and don't abandon those who need your services! I look forward to more positive outcomes with more Global Volunteers teams coming to Rarotonga in 2009!
-Kia Manuia, Niki

Come Join Us - We Need Your Help in 2009!


Kia Orana to all Global Volunteers:

We know the world is experiencing budget shortages. We hope you will continue to send volunteers to the Cook Islands in 2009. It would be very sad for the beneficiaries of the work that the Global Volunteers do in Rarotonga if they do not maintain the very worthwhile service.

The students who receive assistance from the volunteers with their reading will miss out on a very important aspect of their learning as well as self confidence that is nurtured through the support given by the Global Volunteers. These volunteers have also helped a great deal with the conservation of native birds which is one of our success stories. The locals who take this on as a passion and sheer determination to preserve these precious birds through rat eradication which often is quite a difficult taks. Red Cross has a staff shortage and the volunteers have rescued us from many of our much needed jobs to be done and sometimes at short notice... and this we have appreciated.

Just recently, we were able to get the help of a Global Volunteer to complete a job that would have waited for how long, I hate to think!! Other volunteers have become part of the community as they do fill a gap of our needs and the visits with the elderly, disabled, schools, library, women;s office, hospital and so on are most important. Recently, the wheelchairs that were fixed are mind-boggling as we have had to tell clients that we do not have wheelshairs to give to assist with their mobility. I invite Global Volunteers to keep coming and don't abandon those who need your services! I look forward to more positive outcomes with more Global Volunteers teams coming to Rarotonga in 2009!
-Kia Manuia, Niki