KEBUDAYAAN Bali mesti dipahami tak sekadar pentas kesenian. Kebudayaan itu mencakup hal yang luas dan kompleks. ”Selama ini kebudayaan Bali diterjemahkan sebatas seni pertunjukan. Padahal kebudayaan Bali itu mencakup hal yang totalitas, dari apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat orang Bali,” ujar pengamat budaya Drs. Nyoman Wijaya, M.Hum. Contohnya, para penulis pun sesungguhnya termasuk bagian dari unsur kebudayaan, tetapi mereka tak pernah mendapat penghargaan.
Oleh karena itu, ke depan, Pesta Kesenian Bali (PKB) tak hanya pesta seni, tetapi pesta kebudayaan. Sehingga dalam event itu tak hanya diselenggarakan pentas seni tari dan tabuh, pun PKB itu cukup dilangsungkan lima tahun sekali. Di sela-sela itu — setahun sekali — digelar pesta teknologi masyarakat Bali, seperti bagaimana cara membuat tombak, keris, dan cara membuat aungan — saluran irigasi.
Dalam kebudayaan pun, Bali mengenal budaya politik. Tetapi kita tak pernah menjamah budaya politik, sehingga visi dan misi politik saja masih banyak yang rancu. Kurang dewasanya masyarakat dalam berpolitik, tak terlepas dari kurangnya menjamah budaya politik.
Wijaya mengatakan selama ini kebudayaan (baca: kesenian Bali) dijadikan penunjang pariwisata. Dengan demikian kebudayaan Bali tak lebih dari sekadar objek. Ke depan, budaya bisa dijadikan subjek. Karena itu, budaya dan teknologi mesti disinergikan. Jika tidak, budaya yang dihasilkan masyarakat Bali adalah budaya yang bersifat semu. Dengan sinergi yang bagus antara budaya yang adiluhung dengan teknologi, akan menghasilkan produk budaya yang mampu bersaing dengan negara lain.
”Selama ini budaya Bali hanya menjadi objek dari kebudayaan global. Jika hanya menjadi banjolan-banjolan budaya, budaya Bali hanya akan enak ditonton untuk sekadar menghilangkan stres. Tak seperti negara lain yang menjadikan kebudayaan sebagai subjek,” kata Wijaya.
Misalnya Jepang, India, dan Amerika yang sudah mampu mensinergikan kebudayaan dan teknologi. Mereka sudah lama mengekspor budaya ke negara lain. Padahal, dari segi substansi, Bali (Indonesia) memiliki nilai-nilai budaya yang amat kaya. ”Tetapi karena tak dikawinkan dengan teknologi, maka kita hanya mampu menempatkan kebudayaan sebagai objek,” katanya.
Suartaya dan Murdana juga sepakat bahwa sinergi kebudayaan dengan teknologi penting. Negara Jepang sudah melakukan hal itu. Masyarakat Jepang, Korea, dan Cina sudah mampu memberdayakan kebudayaannya. ”Dalam melakoni aktivitas budaya masyarakat tak alergi terhadap teknologi. Tetapi ingat, teknologi itu alat untuk mempercepat proses berkesenian,” kata Murdana.
Wijaya mengatakan, ke depan yang diperlukan bukan hanya menjadi tukang-tukang teknologi, tetapi masyarakat mesti mampu menjadi inventor (penemu). Dengan demikian masyarakat Bali mampu mensinergikan produk budaya dengan teknologi.
Bali, kata Wijaya, memiliki banyak cerita rakyat yang jika mendapat sentuhan teknologi, kiranya mampu bersaing. Cerita rakyat itu bisa dikemas dalam bentuk film kartun dan film.
Wijaya mengatakan strategi kebudayaan ke depan sebenarnya bisa berpijak pada evaluasi sekarang. Kehidupan orang Bali berpangkal atau bermuara pada agama Hindu. Dari situlah mestinya bertolak. Artinya, bagaimana memperlakukan agama pada masa kini.
Memang upaya yang dilakukan elite agama sudah mengarah ke perbaikan-perbaikan. Untuk memperbaiki cara beragama di masa lampau, elite agama melakukan dharma wacana. Tetapi langkah yang dilakukan itu baru sebatas pada bagaimana melaksanakan upacara yang baik dan benar.
Ke depan, mesti ada peningkatan. Tak hanya mengantarkan orang untuk beragama yang baik dan benar, tetapi mendidik masyarakat untuk berpikir, berkata dan bertindak yang benar. Sehingga masyarakat mampu melangkah dari agama yang tekstual formal menjadi agama yang kontekstual — agama yang hidup. Artinya, agama dalam konteks ini mampu menjawab tantangan di masa mendatang.
Dalam pendidikan, kata Wijaya, antara muatan lokal dan pendidikan formal (teknologi) juga mesti disenergikan. Dengan demikian, ke dalam, masyarakat dididik mampu mencari nilai-nilai luhur dari kebudayaan, sedangkan keluar SDM yang dihasilkan mampu menjangkau informasi global. Misalnya bahasa Inggris dan bahasa Bali sudah mesti dipahami sebagai bahasa yang sama-sama memiliki arti penting. Kedua bahasa itu mesti dipelajari bersamaan, sehingga hasilnya lebih maksimal. Pengusaan bahasa lokal untuk memudahkan anak-anak mempelajari teks-teks lokal, sedangkan bahasa asing untuk menangkap informasi global. Dengan demikian kita berharap anak-anak mampu menguasai teks lokal dengan konteksnya yang lebih luas.
Oleh karena itu, ke depan, Pesta Kesenian Bali (PKB) tak hanya pesta seni, tetapi pesta kebudayaan. Sehingga dalam event itu tak hanya diselenggarakan pentas seni tari dan tabuh, pun PKB itu cukup dilangsungkan lima tahun sekali. Di sela-sela itu — setahun sekali — digelar pesta teknologi masyarakat Bali, seperti bagaimana cara membuat tombak, keris, dan cara membuat aungan — saluran irigasi.
Dalam kebudayaan pun, Bali mengenal budaya politik. Tetapi kita tak pernah menjamah budaya politik, sehingga visi dan misi politik saja masih banyak yang rancu. Kurang dewasanya masyarakat dalam berpolitik, tak terlepas dari kurangnya menjamah budaya politik.
Wijaya mengatakan selama ini kebudayaan (baca: kesenian Bali) dijadikan penunjang pariwisata. Dengan demikian kebudayaan Bali tak lebih dari sekadar objek. Ke depan, budaya bisa dijadikan subjek. Karena itu, budaya dan teknologi mesti disinergikan. Jika tidak, budaya yang dihasilkan masyarakat Bali adalah budaya yang bersifat semu. Dengan sinergi yang bagus antara budaya yang adiluhung dengan teknologi, akan menghasilkan produk budaya yang mampu bersaing dengan negara lain.
”Selama ini budaya Bali hanya menjadi objek dari kebudayaan global. Jika hanya menjadi banjolan-banjolan budaya, budaya Bali hanya akan enak ditonton untuk sekadar menghilangkan stres. Tak seperti negara lain yang menjadikan kebudayaan sebagai subjek,” kata Wijaya.
Misalnya Jepang, India, dan Amerika yang sudah mampu mensinergikan kebudayaan dan teknologi. Mereka sudah lama mengekspor budaya ke negara lain. Padahal, dari segi substansi, Bali (Indonesia) memiliki nilai-nilai budaya yang amat kaya. ”Tetapi karena tak dikawinkan dengan teknologi, maka kita hanya mampu menempatkan kebudayaan sebagai objek,” katanya.
Suartaya dan Murdana juga sepakat bahwa sinergi kebudayaan dengan teknologi penting. Negara Jepang sudah melakukan hal itu. Masyarakat Jepang, Korea, dan Cina sudah mampu memberdayakan kebudayaannya. ”Dalam melakoni aktivitas budaya masyarakat tak alergi terhadap teknologi. Tetapi ingat, teknologi itu alat untuk mempercepat proses berkesenian,” kata Murdana.
Wijaya mengatakan, ke depan yang diperlukan bukan hanya menjadi tukang-tukang teknologi, tetapi masyarakat mesti mampu menjadi inventor (penemu). Dengan demikian masyarakat Bali mampu mensinergikan produk budaya dengan teknologi.
Bali, kata Wijaya, memiliki banyak cerita rakyat yang jika mendapat sentuhan teknologi, kiranya mampu bersaing. Cerita rakyat itu bisa dikemas dalam bentuk film kartun dan film.
Wijaya mengatakan strategi kebudayaan ke depan sebenarnya bisa berpijak pada evaluasi sekarang. Kehidupan orang Bali berpangkal atau bermuara pada agama Hindu. Dari situlah mestinya bertolak. Artinya, bagaimana memperlakukan agama pada masa kini.
Memang upaya yang dilakukan elite agama sudah mengarah ke perbaikan-perbaikan. Untuk memperbaiki cara beragama di masa lampau, elite agama melakukan dharma wacana. Tetapi langkah yang dilakukan itu baru sebatas pada bagaimana melaksanakan upacara yang baik dan benar.
Ke depan, mesti ada peningkatan. Tak hanya mengantarkan orang untuk beragama yang baik dan benar, tetapi mendidik masyarakat untuk berpikir, berkata dan bertindak yang benar. Sehingga masyarakat mampu melangkah dari agama yang tekstual formal menjadi agama yang kontekstual — agama yang hidup. Artinya, agama dalam konteks ini mampu menjawab tantangan di masa mendatang.
Dalam pendidikan, kata Wijaya, antara muatan lokal dan pendidikan formal (teknologi) juga mesti disenergikan. Dengan demikian, ke dalam, masyarakat dididik mampu mencari nilai-nilai luhur dari kebudayaan, sedangkan keluar SDM yang dihasilkan mampu menjangkau informasi global. Misalnya bahasa Inggris dan bahasa Bali sudah mesti dipahami sebagai bahasa yang sama-sama memiliki arti penting. Kedua bahasa itu mesti dipelajari bersamaan, sehingga hasilnya lebih maksimal. Pengusaan bahasa lokal untuk memudahkan anak-anak mempelajari teks-teks lokal, sedangkan bahasa asing untuk menangkap informasi global. Dengan demikian kita berharap anak-anak mampu menguasai teks lokal dengan konteksnya yang lebih luas.
No comments:
Post a Comment