Best Island
Beautiful Island
Beautiful Beach

Saturday, March 14, 2009

belum sempet dikasih judul...(satu)


Sebenarnya cerita ini ingin aku buat novel, tapi akhir-akhir ini kesibukan senantiasa menyertai diriku kemanapun aku pergi....(sok sibuk, hehehehe....). makanya aku mandeg nulis dan benar kata temen2 penulis. Kelamaan gak nulis membuat mood kita hilang, saat aku pingin mulai nulis lagi otakku terasa beku...gak ada yang keluar...hanya sampah!
Sooo.....untuk siapapun dengan pekerjaan apapun :
BERHENTILAH BERISTIRAHAT SEBELUM RASA LELAHMU HILANG...!!


Bagian 1

.......... sayangnya pengorbanan
terkadang merupakan suatu keharusan

Aku amati titik air di dinding gelas. Mengalir turun perlahan menyatu dengan titik embun yang lain, bersama-sama membentuk satu kesatuan yang berjuang mempertahankan diri untuk tetap menempel pada dinding gelas. Sekuat apapun mereka mencengkeram gelas dan serekat apapun mereka melekatkan diri, tetap saja gravitasi menunjukkan dayanya dan menarik mereka ke bawah dengan kecepatan tak menentu –menunjukkan dua tenaga yang saling tarik-menarik– berlomba-lomba mengalir saling susul menyusul, bertabrakan satu sama lain. Seperti sekelompok pedagang kaki lima yang lari berserabutan menghindari petugas pamong praja yang juga tak kalah serabutannya. Berteriak-teriak dengan penuh wibawa. Perintah sana, perintah sini. Galak memang. Pentungan-pentungan dipamerkan –entah untuk menakuti atau memang dipersiapkan untuk memukul pedagang terdekat– membuat para pedagang yang kebanyakan adalah ibu-ibu setengah baya lari tunggang-langgang dengan daster ditarik setinggi paha, sekilas terlihat celana dalam mereka yang kumal dan tipis termakan waktu tatkala kain daster mereka ikut melonjak-lonjak seiring dengan makin cepatnya kaki-kaki kotor mereka berlari mencari keselamatan –yang susah mereka kejar karena keselamatan juga ikut lari tunggang langgang menghindari para petugas.

Akhir-akhir ini memang banyak sekali berita di TV yang menampilkan aksi anarki dan kerakusan dari para putra Adam. Tawuran antar mahasiswa, penggusuran pedagang kaki lima, sengketa tanah, konflik antar agama –tiada hari tanpa kekerasan. Hampir semua korbannya adalah masyarakat kecil, diseret sana diseret sini. Dilarang melakukan sesuatu dengan alasan yang masuk akal tanpa diberikan solusi.

“Jangan jualan di pinggir jalan. Mengganggu!” Masuk akal.
“Tapi ini penghasilan kami satu-satunya, Pak. Kalau tidak boleh berdagang bagaimana kami bisa makan? Bagaimana dengan uang kontrakan rumah? SPP anak?”
“Kami tidak pernah melarang anda untuk berdagang. Rakyat kecil adalah prioritas utama kami.” Menjanjikan, “Tapi jangan disini.” Masuk akal.
“Terus dimana?”
“Ya pokoknya jangan disini.” Solusi?

Tak sadar aku angkat gelas, bukan untuk kuminum tetapi untuk mengelap genangan kecil akibat lelehan embun dari dinding gelas di atas meja dan mengeringkannya dengan ujung lengan jaketku. Aku ambil lembaran koran dari bawah meja, kulihat tanggal yang tertera di sana. 14 maret. Hari ini. Aku julurkan tanganku ke tumpukan koran dan majalah di bawah meja tamu keramik –harganya pasti mahal. Tumpukan paling bawah menunjukkan tanggal minggu kemarin. Aku letakkan majalah remaja –yang memampangkan wajah aktor sinetron yang lagi beken– di atas meja dan kuletakkan gelasku di atasnya. Aku tersenyum puas.
Tidak biasanya aku melakukan hal-hal kecil seperti ini, hal yang kurang penting. Sama sekali bukan perilaku yang pantas dilakukan oleh orang sepertiku. Satu nama langsung terlintas di kepalaku. Bani! Orang yang jauh lebih pantas melakukan ketidakpentingan seperti yang kulakukan tadi.

Bani adalah orang yang sangat-sangat menyenangkan, dalam tanda kutip. Dia gemar melakukan apa yang aku lakukan tadi, hal yang gak penting –bagiku. Karena kebiasaannya yang gak penting itu pulalah makanya dia selalu menjadi the second person, pendamping, tokoh yang gak penting. Sesuai dengan hobinya yang juga tidak kalah gak pentingnya.
Ibarat cerita komik Batman, dia adalah Robin. Bukan tokoh utama yang selalu ingin tampil. Tetapi walaupun begitu tetap saja dia merupakan pelengkap yang selalu dinantikan dan harus ada. Aksi-aksi konyol Bani selalu ditunggu. Dia suka bikin sensasi, di setiap kesempatan dia selalu membuat ulah, konyol, nekad, memalukan dan tak bertanggung jawab, seperti Patrick-nya SpongeBob. Membuat orang-orang di sekitarnya merasa terganggu sekaligus terhibur. Karena kenekadannya mencari perhatian itu juga yang akhirnya mengakhiri hidupnya.
Tragis!
Saking gigih usahanya untuk menawan cinta seorang gadis yang bertubuh gempal, rambut awut-awutan, jerawat yang disebar begitu saja di atas wajahnya oleh malaikat penyebar jerawat –dia pasti sedang stress sehingga melampiaskan kekesalannya di atas wajah seorang gadis malang yang kebetulan dijadikan gadis pilihan oleh Bani–, kacamata yang hanya Betty La fea saja yang bisa nyaingin, dia rela berbuat satu hal bodoh yang merenggut nyawa.
Dari ciri yang saya jelaskan tadi, kalian pasti akan mendapatkan kesan kalau gadis itu jelek. Memang!
Terus, kenapa Bani sampai rela berkorban nyawa demi dia? Itulah cinta. Atau lebih tepatnya itulah Bani, manusia aneh yang tidak pernah masuk nalar.

Pernah suatu ketika, beberapa orang terbodoh dari kelas 2B –kelasku, dan sayangnya aku juga berada di antara mereka– berdialog mengenai science atau mungkin filsafat? ….pokoknya berbincang mengenai sesuatu yang sama sekali bukan bidang kami.
Anyway, argumen orang terpintar dari orang-orang terbodoh sekelas yang sedang berdiskusi itu terpatahkan oleh satu nama. Bani!
Waktu itu dia sedang menggurui kami dengan teori yang dipetiknya dari sebuah novel, bahwa segala hal yang ada di dunia ini pasti mempunyai dua sifat, yaitu baik dan buruk, positif dan negatif, hitam putih, kanan kiri, yin yang, siang malam, tahu tempe, bla bla. Dan dia juga bilang kalo semua hal di dunia pasti bisa dijelaskan dengan logika. Secara ilmiah.
Hebat memang kata-katanya!
Waktu bilang gitu itu, dia sambil mengipas leher penuh keringatnya dengan sehelai lembar kertas ujian IPA, jelas tertera di situ nilainya D. dilingkari guratan spidol merah marun.

“Masa?”
“Jelas dong!”
Di kejauhan terlihat Benjo, anak kelas 3 dikejar-kejar Guru BP. Pasti ketahuan ngerokok lagi.
“SEMUAnya pasti bisa dijelaskan dengan LOGIKA. Kalo gak percaya,coba sebutin satu hal. Sulap? Hantu? Gerhana?” lanjutnya setelah adegan kejar-kejaran antara 2 insan berbeda generasi itu berakhir dengan meloncatnya Benjo ke balik tembok pembatas sekolah membuat sang Guru BP berjalan terpincang sambil sedikit meringis karena –entah bagaimana– organ kesayangannya tersangkut pagar berduri di atas tembok ketika hendak menyaingi kelincahan Benjo.
“Coba jelaskan tentang Bani,” celetuk orang terbodoh di antara kami.
“…………………………” jawab orang terpintar di antara kami.
Itulah Bani, tidak terdefinisikan oleh berjuta ilmu. Kalau di area 51 terkenal dengan UFO-nya, bagi kami dia adalah UWO ~Unidentified Walking Object~

By the way.
Kembali ke gugurnya sang Bani. Sebenarnya sih sepele. Kejadiannya di kolam renang. Dengan PeDe-nya untuk merebut hati sang kekasih, Bani memberanikan diri melompat dari papan lompat yang paling tinggi. Papan khusus untuk atlet! Sebenarnya sih waktu itu aku ingin melarang dia, tapi mana mungkin aku melewatkan kesempatan melihat hiburan yang belum tentu konglomerat sekelas Donald Trump bisa menyaksikannya? Iya gak? Alhasil, aku memutuskan untuk berdiam diri, membiarkan egoku yang memenangkan pertarungan antara yang baik dan yang jahat, memang tak selamanya kebaikan mengalahkan kejahatan. Tuhan kan adil jadi terkadang kejahatan juga diberi kesempatan untuk mengecap manisnya anggur kemenangan...

Dengan hati berdebar kami melihat tubuh tambun Bani menaiki tangga demi tangga sampai akhirnya dia sampai di puncak, dari bawah sih kelihatannya dia baik-baik saja. Tersenyum dengan gagah sambil melambaikan tangan layaknya seorang penyanyi DangDut menyapa penonton dari atas panggung.
Perlahan dia berjalan ke tepi papan. Sampai sekarang aku belum yakin tapi aku melihat sesuatu yang menetes dari celana pendek gombrongnya. Keringat? Ataukah rasa takut membuat klep-nya bocor sehingga natural liquid-nya dapat dengan bebas merembes keluar? Only God and Bani knows.

Byuuurrrrrrr......!!!!!!! Aku gak tahu kapan dan kenapa dia nekad menjatuhkan diri dengan pilihan gaya yang benar-benar pantas untuk ditertawakan. Tapi jelas dia loncat! Tawa dan tepuk tangan membahana, Rhoma Irama aja pasti ngiri mendengar respon semeriah itu. Begitu antusias, bersemangat dan mengebu-gebu. Sampai-sampai kami gak sadar kalo Bani sudah berada di dalam air terlalu lama. Sumpah kami gak ngeh kalo waktu itu tawa, tepuk tangan, teriakan, semuanya itu ternyata merupakan pengiring Bani untuk berpulang.
Siapa yang menduga kalo orang yang berani melompat dari ketinggian seperti itu ternyata tidak bisa berenang? Tapi, itulah Bani. Sang UWO.

Aku mengalihkan pandanganku dari gelas yang membawa ingatanku ke Bani. Teras itu kecil tapi nyaman sekali, kolam kecil di samping teras diisi puluhan ikan mas koki. Berjejalan di satu kolam yang menurutku terlalu sempit bagi puluhan makhluk Tuhan itu. Mereka terlihat berebutan memonyongkan moncongnya ke atas permukaan air untuk menghirup sedikit udara sebelum digantikan oleh ikan yang lain. Apa mereka lupa kalau mereka bernafas melalui insang? Dasar ikan.
Di tepi kolam dihiasi beberapa pohon bonsai beraneka bentuk dan tidak satupun yang berbentuk selayaknya pohon.
Aku pegang salah satu pohon terdekat. Memang asli bukan plastik.

Tapi ngomong-ngomong. Lama amat sih Rara? Apa dia beneran sakit ya?
“Rio...” Seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik datang menghampiriku. Sambil duduk di depanku terhalang meja keramik yang menjadi awal dari lamunanku yang tidak menentu akibat pelampiasan rasa gelisahku tadi. Wanita inilah yang telah dipinjam rahimnya oleh Tuhan selama 9 bulan untuk menyimpan calon manusia cantik yang membuatku jatuh cinta.
Dia menjelaskan kalau sekarang ini Rara tidak mau menemui aku. Bahkan membuka pintu kamar saja tidak mau. Sudah dua hari ini Rara seperti itu, sampai-sampai beliau dan Papanya Rara menjadi bingung setengah mati. Dia minta maaf padaku dan berkata supaya aku kembali saja besok kalau Rara sudah merasa baikan. Perlahan aku bangkit dari kursi yang sudah kududuki selama 30 menit lebih itu sampai-sampai pantatku sudah begitu teradaptasi dan enggan untuk beranjak dari bantalan kursi yang begitu empuk. Tetapi aku tetap berdiri dan tanpa bicara apapun aku mulai langkahkan kakiku menuju gerbang keluar.
Sesampainya di depan kurasakan adrenalinku terpompa sedikit demi sedikit, darah memenuhi kepalaku, ketegangan menguasai diriku, otakku nanar sampai akhirnya –sepersekian detik kemudian– dengan spontan aku membalikkan tubuhku dan dengan langkah cepat aku kembali ke teras dimana Mamanya Rara masih berdiri dan memandangku heran.
“Tante! Bilang sama Rara kalau aku tidak mau pergi dari rumah ini sebelum ketemu dia...”

tu bi kuntinyuuu......

No comments:

Post a Comment